MITOS KELIRU “WAHHABI” (1)

Judul Asli : The Wahhabi Myth
Penulis : Haneef James Oliver
Judul Terjemahan : Menyingkap Mitos Wahhabi
Alih Bahasa : Ummu Abdillah al-Buthoniyah

Segala puji bagi Allah, semoga shalawat dan salam senantiasa tercurah kepada Nabi Muhammad s, keluarganya, dan para sahabatnya serta orang-orang yang mengikuti mereka dalam kebaikan hingga hari kiamat.

Amma ba’d,

Alhamdulillah, setelah lebih dari satu tahun berencana menterjemahkan buku ini, akhirnya kami dapat menghadirkan kepada pembaca, The Wahhabi Myth, karya Haneef James Oliver.

Buku ini oleh penulis disusun sebagai upaya untuk meluruskan kesalahpahaman yang telah menyebar begitu luas, mengenai penisbatan aksi-aksi teror kepada pemahaman Salaf atau yang lebih khusus diberi istilah Salafi “Wahhabi”. Kesalahpahaman ini tidak saja dipahami dan disebarkan oleh media asing (baca: Barat), akan tetapi juga di kalangan kaum Muslimin sendiri.

Sepanjang pembahasan buku ini, penulis menggunakan istilah “Wahhabi” dengan tanda petik, bukan untuk
membenarkan penggunaan istilah tersebut, karena tidak seorang pun dari kaum Muslimin, khususnya yang berpegang teguh kepada manhaj Salaf, pernah menisbatkan dirinya pada istilah tersebut. Penggunaan “Wahhabi” di sini justru untuk menunjukkan poin yang dimaksudkan penulis kepada para pembaca, bahwa apa yang sebenarnya dijuluki
“Wahhabiyyah” atau orang-orang yang disebut “Wahhabi” itu tidak lain dari pemahaman yang berusaha mengimplementasikan prinsip dasar ajaran agama Islam, yakni tauhid, dan berusaha mengembalikan kemurniannya dari segala bentuk kesyirikan dan bid’ah dan khurafat di dalam agama. Melalui buku ini pula, pembaca diajak untuk mengetahui realitas di balik aksi-aksi teror serta organiasi yang berada di belakangnya.

Bagi sebagian besar kaum Muslimin, banyak istilah-istilah yang sudah lazim dan dapat dipahami tetap dicantumkan di dalam catatan kaki, mengingat buku ini tidak hanya ditujukan kepda kaum Muslimin, tetapi lebih kepada non-Muslim untuk
memudahkan mereka memahami isi dan maksud yang hendak disampaikan oleh penulis. Beberapa istilah dalam bahasa aslinya sengaja tidak kami terjemahkan, sebagian di antaranya kami sertakan dengan penjelasan ringkas.

Akhirnya, semoga buku ini dapat mendatangkan manfaat bagi kaum Muslimin, menepis segala tuduhan keliru dan menghilangkan keraguan terhadap mereka yang selalu
dituding sebagai “Wahhabi”. Hanya kepada Allah kita memohon pertolongan.
Desember, 2009

PENDAHULUAN

Pada bulan-bulan setelah terjadi serangan 11 September, saya mendapati banyak artikel yang berkenaan dengan Islam dan khususnya, topik mengenai “Wahhabiyyah”/ Salafiyyah.1 Saya terkejut melihat intensitas serangan ideologi yang dibuat oleh media dalam usaha mereka untuk dengan batil menyatakan bahwa Usamah bin Laden dan para pengikut al- Qaidah-nya adalah penganut Salafiyyah. Dalam upaya menolak anggapan ini, saya membuat surat kepada keluargaku yang beragama Kristen, menguraikan dengan
singkat kekeliruan, ketidakakuratan dan kebohongan yang terang-terangan yang dapat ditemukan dalam sebagian artikel tersebut.

Saya telah mengumpulkan sebagian poin-poin tersebut yang telah saya sertakan dalam surat pribadi untuk keluargaku, meluaskan(pembahasan)nya, sehingga ia dapat menjadi
dasar klarifikasi atas tuduhan-tuduhan tidak berdasar ini. Tujuanku melakukannya bukan untuk membela dengan curang orang-orang yang tidak patut dibela, karena Islam memerintahkan seorang Muslim untuk mengatakan kebanaran, meskipun hal itu bertentangan dengan dirinya,
atau para pengikut keyakinan yang sama. Sebaliknya, adalah menjadi tujuanku untuk hanya membahas perkara-perkara yang secara tidak adil dimunculkan terhadap Islam dan Salafiyyah pada khususnya, sebagai penentangan atas pembelaan aksi kelompok dan gerakan ‘Islam’ kontemporer, yang hanya akan menolong orang-orang yang ingin
membahayakan Islam.

Sejak 11 September, banyak non-Muslim sebelumnya hanya mengetahui sangat sedikit tengang Islam telah mengetahui sebagian dari ajarannya. Meskipun tema terbanyak dari laporan mengenai Islam lebih bersifat negatif, sebagian penulis sesungguhnya telah mendidik para pembacanya mengenai Islam, dengan menyebutkan beberapa kebaikannya yang haq. Mungkin saat ini lebih banyak orang yang menyadari kenyataan bahwa Islam bukan sekedar agama
timur jauh, mistis dan penyembah berhala, namun seballiknya, Islam adalah agama Tauhid yang haq yang memerintahkan manusia dengan adab dan akhlak yang baik dan melarang mereka dari apapun yang mengandung
keburukan.

Bukan maksudku untuk membahas satupun dari perkara tersebut, karena tampaknya tidak ada yang sesuatu yang
nyata mengenai sebagian besar di antaranya. Sebaliknya yang menjadi tujuanku adalah meneliti poin-poin yang sebenarnya dari kontroversi yang telah muncul, dan memberikan sudut pandang lain kepada para pembaca mengenai sebagian isu ini, yang mungkin belum pernah diperlihatkan kepada mereka. Saya telah mencoba menghindari membuat sebuah buku lain yang dipenuhi pendapat, namun kurang dalam pembuktian dalil. Sebaliknya saya mencoba membuat sebuah buku di mana baik seorang Muslim maupun non-Muslim dapat memikirkan sendiri di
atas petunjuk Al-Qur’an dan hadits2 Nabi Muhammad s.3 Konsekuensinya, saya telah memasukkan banyak ayat-ayat Al-Qur’an dan hadits untuk memperkenalkan kepada pembaca sumber-sumber (agama) ini dan memperkuat apa yang saya tulis. Saya juga mengetahui bahwa para pembaca yang merasa mengetahui Islam tanpa memperhatikan sumbernya (yakni sumber ajaran Islam–pent) tidak akan bergairah membaca karya ini.

Dalam menukil ayat-ayat Al-Qur’an, saya menghindari penggunaan archaic English, sebagaimana yang ditemukan dalam Bible dan terjemahan Al-Qur’an, karena hal itu cenderung merubah sebagian topik menjadi tidak jelas. Selanjutnya, perlu dicatat bahwa Muslim tidak meyakini bahwa Al-Qur’an dapat diterjemahkan. Karenanya, kami cenderung mengistilahkan usaha ini sebagai ‘terjemahan makna’ ayat-ayat (Al-Qur’an), berkebalikan dengan
terjemahan (yang biasa dilakukan–pent).

Dalam beberapa contoh yang tidak biasa, karena ketertarikan, saya menyertakan sebagian ayat dari Perjanjian Lama dan Perjanjian baru. Kaum Muslimin meyakini kitabkitab yang diberikan kepada penerima wahyu terdahulu. Namun mereka tidak meyakini bahwa kitab-kitab yang beredar sekaran gini di antara Ahli Kitab zaman sekarang (Yahudi dan Nasrani) sama persis seperti ketika mereka diturunkan. Oleh karena itu, kaum Muslim tidak meyakini dan juga tidak mengingkari konteksnya, kecuali perkara yang
dapat dibenarkan oleh sebuah ayat dalam Al-Qur’an atau hadits yang shahih.

Para pembaca akan mengetahui bahwa kata “Wahhabi” selalu disertai dengan tanda kutip. Orang-orang yang dicap dengan istilah ini sendiri tidak menggunakan istilah ini,
karena ia digunakan untuk merendahkan. Alasan penolakan terhadap istilah ini dengan jelas diuraikan dalam buku ini. Istilah yang benar untuk menunjukkan mereka adalah dengan memberikan istilah Salafi kepada mereka, karena mereka adalah orang-orang yang berpegang pada jalan para Salaf (Nabi Muhammad s dan para sahabatnya).

Buku ini memuat tinjauan dasar mengenai aqidah tauhid Salafiyyah dan keadaannya yang tidak berbeda dengan aqidah dari para Nabi dan Rasul sebelumnya. Buku ini memberikan gambaran mengenai prinsip dasar manhaj Salaf, menunjukkan bagaimana ia sesungguhnya berada di atas jalan yang telah ditetapkan untuk diikuti di dalam Al-Qur’an.

Dengan anggapan bahwa banyak pembaca mungkin baru mengenal topik Islam, saya juga berusaha sedapat mungkin
untuk menjelaskan sebagian isu mengenai pernyataan yang ada dengan cara yang tidak rumit. Catatan kaki mengikuti metode yang digunakan ulama Muslim sepanjang masa, yang memberikan buku ini sesuatu yang berbeda.

Buku ini memuat bantahan terhadap beberapa pernyataan yang dibuat mengenai “Wahhabi’ dari banyak komunitas manusia. Saya berkonsentrasi pada menyangkal tuduhan
bahwa al-Qaidah adalah sebuah kelompok Salafi, sebaliknya, menunjukkan bagaimana mereka merupakan cabang dari salah satu sekte yang paling awal, paling berbahaya dan sesat dalam Islam, Khwarij.4 Yang lebih penting lagi, saya berusaha untuk menghilangkan bias para kritikus yang telah melemparkan bayangan yang menyesatkan di atas kemuliaan Islam dan manhaj Salafi yang suci.

Adalah harapanku dengan ikhlas agar buku ini menjadi sumber penerangan bagi orang-orang yang berusaha
menghindari ketidakpastian dan kekeliruan informasi, dan menjadi alat untuk menghapuskan banyak kesalahpahaman yang telah muncul, khususnya setelah kejadian 11 September. Haneef James Oliver

ISTILAH KELIRU YANG TIDAK MENDASAR

APA ITU WAHHABI?

Sungguh sayang, sebagian muslim bertanggung jawab dalam menyesatkan orang lain dengan memanggil seseorang yang bertentangan dengan budaya, keyakinan atau tahyul bid’ah dan praktek beragama setempat sebagai “Wahhabi”. Istilah
“Wahhabi” seolah mengambil makna yang berbeda di waktu dan tempat yang berbeda.

Sebutan ini berdasarkan presepsi bahwa seorang ulama bernama Muhammad bin Abdul Wahhab datang dengan
agama yang baru yang bertentangan dengan ajaran normatif Islam. Siapa gerangan beliau dan apa sesungguhnya yang ditulisnya?

Lahir di kota Uyainah pada tahun 1703 (1206H5) Muhammad bin Abdul Wahhab merasa terganggu dengan praktek
beragama manusia yang mengandung kesyirikan, tahyul dan pengkultusan para wali dan kuburan, semuanya yang jelas bertentangan dengan nash-nash Islam.

Ketika menulis kitabnya, beliau berkonsentrasi pada (upaya) membawa manusia kembali kepada Tauhid6 yang benar dan mengikuti sunnah Nabi Muhammad s.7 Ketika beliau
memperbaharui risalah Nabi, beliau menghadapi rintangan dan kesulitan dan ditentang dengan keras karena mengemukakan dakwah ini.

Pada hari ini, di banyak tempat dari dunia muslim, beliau dipandang sebagai seseorang yang sesat yang hendak mengubah agama Islam. Ini adalah kebohongan yang tidak
berdasar, sebagaimana setiap pengamat yang obyektif akan mencatat bahwa sebagian besar buku-bukunya tidak mengandung sesuatu melainkan kumpulan dari nash-nash Al- Qur’an dan Sunnah dengan sedikit sekali perkataannya sendiri di antaranya. Kenyataanya orang-orang ini, yang
nenek moyangnya, sepanjang waktu berlalu, telah merubah agama dari bentuk aslinya yang murni, dan dia (Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab) tidak lain melainkan seorang pembaharu yang memurnikan agama dari unsur-unsur yang tidak sah.

Rasulullah bersabda: “Ilmu ini akan dibawa oleh orang-orang yang terpercaya dari setiap generasi, mereka akan mengeluarkan darinya perubahan-perubahan yang dibuat oleh orang yang berlebih-lebihan, kedustaan para pendusta, dan penafsiran keliru dari orang-orang bodoh.”9

Posisi Salafi terhadap Muhammad bin Abdul Wahhab, beliau adalah seorang alim ulama besar, sebagaimana ribuan ulama yang telah mendahuluinya di atas kebaikan ini. Aqidahnya sama dengan mereka, dan dia hanya menjadi terkenal karena pembelaannya terhadap aqidah ini, karena beliau datang pada waktu dimana praktek-prakek sesat begitu menyebar sehingga praktis beliau sendirian dalam pembelaannya
terhadap kebenaran. Namun demikian, keimanan, perbuatan dan perkataannya dapat diteliti sebagaimana ribuan ulama Islam lainnya yang telah mendahului beliau, dan tidak diperbolehkan bagi seorang muslim bersikap berat sebelah pada seorang ulama tertentu yang meyebabkan dia menolak kebenaran yang di dalamnya terkadung Al-Qur’an dan Sunnah Nabi

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mendahului Allah dan Rasulnya dan bertakwalah10 kepada Allah.

Sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” (QS Al-Hujarat [49] : 1)

“Hampir dalam semalam, ditemukan oleh segala jenis “pakar” instan, bahwa Wahhabiyyah, agama resmi sekutu
lama kita, adalah sama dengan Nazisme11, jika bukan sekaligus penyembah iblis.”12

Sekumpulan Dongeng yang Keliru

Mitos: “Usamah Bin Laden adalah Wahhabi”

Pada tanggal 30 Sepetember 2001, Roger Hardy, analis BBC Timur Tengah menulis sebuah artikel berjudul “Inside Wahhabi Islam”. Hardy sendiri mencatat bahwa istilah “Wahhabi” seringkali disalahgunakan untuk tujuan-tujuan yang kurang jujur.

“Istilah Wahhabi” seringkali digunakan dengan sangat bebas. Media Rusia misalnya, menggunakannya sebagai istilah kekerasan untuk kegiatan Muslim di Asia Tengah dan
Caucasus, sebagaimana di Rusia sendiri – sebagaimana media Barat menggunakan istilah yang tidak jelas dan menghina “Islamic Fundamentalism (Fundamentalisme Islam).’”

Sayangnya, Hardy jatuh pada jebakan yang sama dalam kekeliruan menempatkan istilah tersebut ketika dia
menyebutkan bahwa Usamah bin Laden adalah ‘Wahhabi’. “Usamah bin Laden, disebut oleh pejabat AS sebagai tersangka utama dalam serangan 11 September terhadap Amerika, adalah seorang kelahiran Saudi dan seorang “Wahhabi”.

Kesalahan yang dilakukan oleh Hardy di sini adalah dia mengasumsikan bahwa karena Bin Laden lahir dan
dibesarkan di Saudi Arabia, dan ini pada gilirannya mengharuskan dia menjadi seorang “Wahhabi”. Kenyataannya ini adalah sebuah kesimpulan dangkal yang berulang-ulang disebutkan di media dan sangat perlu diberikan bantahan.

HUBUNGAN BIN LADEN DENGAN ALIRAN SUFI

Usamah bin Laden berasal dari keluarga Yaman yang berasal dari Hadramaut, daerah pantai Yaman yang terkenal sebagai basis sekte Islam tertentu yang disebut Sufi13. Sufi dapat disimpulkan secara ringkas sebagai antithesis (lawan) dari “Wahhabi”. Bin Laden sendiri tidak memperhatikan pembedaan antara perkara aqidah dan sebagian dari perkataannya menunjukkan bahwa dia masih mengakui
praktek-praktek Sufi. Dia juga merangkul Taliban sebagai teman dekat dan pelindungnya, dan telah dikenal bahwa sebagian besar dari kelompok ini menganut gerakan Sufi Deobandi.

Namun demikian pembedaan dilakukan, antara menunjukkan bahwa Bin Laden mengakui praktek-praktek Sufi tertentu, dan menyatakan bahwa dia benar-benar seorang Sufi. Bahkan, Bin Laden telah menunjukkan bahwa dia tidak perduli dengan perkara yang sama mengenai iman dan ibadah sebagaimana yang menjadi perhatian Salafi, karena alirannya (Qutbiyyah) tidak membedakan perkara iman,
asalkan orang-orang setia pada ‘pergerakan’ mereka. Kekeliruan lain yang seringkali diulang dalam mainsrteam media, pendapat bahwa Taliban adalah Wahhabi. Pada tanggal 10 Desember 2001, Ron Kampeas dari the Washington Post menulis bahwa “Wahhabiyyah” adalah
kepercayaan puritan yang menolak perubahan. Cabang Islam yang mendorong Taliban…”

Pada kenyataannya, ini adalah sebuah kekeliruan besar lain yang menunjukkan bahwa orang-orang yang mengulang klaim tersebut telah melakukan pendekatan terhadap
perkara yang rumit ini dengan cara yang sederhana. Meskipun artikel BBC Roger Hardy membuat kesalahan dengan mengatakan bahwa Usamah bin Laden adalah Wahhabi, tidak seperti Kampeas, dia tidak mengulang
kesalahan ini ketika membahas pergerakan Sufi Taliban. “Akan tetapi Taliban bukanlah Wahhabi. Mereka tergolong ke dalam apa yang dikenal dengan pergerakan Deobandi, nama yang diambil dari sebuah kota kecil Deoband di Himalaya India. Di sinilah pergerakan itu didirikan pada tahun 1860an, pada masa pemerintahan Inggris di India.”

Pada tanggal 9 November, Hamir Mir dalam harian Pakistan “The Dawn” mewawancarai Usamah bin Laden sebelum jatuhnya Kabul.

Hamid Mir: “Setelah pemboman Amerika ke Afghanistan pada tanggal 7 Oktober, anda mengatakan kepada TV Al-
Jazira bahwa serangan 11 September dilakukan oleh beberapa orang Muslim. Bagaimana anda tahu bahwa mereka adalah muslim?”

Usamah bin Laden: “Amerika sendiri mengeluarkan daftar tersangka serangan 11 September, mengatakan bahwa
nama-nama yang disebutkan terlibat dalam penyerangan tersebut. Semuanya adalah Muslim, dimana 15 orang berasal dari Arab Saudi, 2 dari Uni Emirat Arab, dan 1 orang dari Mesir. Menurut informasi yang saya miliki, mereka semua adalah penumpang. Fatihah dibacakan untuk mereka di rumah-rumah mereka. Akan tetapi Amerika berkata bahwa
mereka adalah pembajak (pesawat).”

Pernyataan Bin Laden “Fatihah dibacakan bagi mereka di rumah-rumah mereka” maksudnya adalah pembacaan surat Al-Fatihah bagi mayat, sebuah praktek yang biasa di kalangan Sufi. Praktek ibadah seperti ini tidak ada landasannya dalam
Islam, baik dari Al-Qur’an maupun Sunnah, ataupun perbuatan dari generasi yang pertama. Lebih tepatnya, ini adalah amalan bid’ah yang dibuat oleh generasi berikutnya dari Sufi Muslim. Pernyataan ini menunjukkan bahwa Usamah bin Laden tidak memiliki pengetahuan tentang
Islam, dan dia juga tidak terkait dengan prinsip-prinsip dan praktek Salafiyyah.

KETAATAN MUTLAK BIN LADEN KEPADA QUTBISME

Sebagai akibat dari kekayaan yang dihasilkan oleh Bin Laden Corporated, Usamah bin Laden menggunakan uang keluarganya untuk menjalani gaya hidup yang bebas dan mewah. Karenanya, dia tidak pernah dapat memaksa dirinya untuk duduk bersama salah satu dari ulama Salafi, (untuk) benar-benar menuntut ilmu, atau menghidupkan dirinya di atas prinsip dasar keimanan Islam. Kondisi dalam kebodohan ini terus berlanjut bahkan setelah dia menjadi seorang yang agamis dan berangkat ke Afghanistan untuk berperang melawan Soviet. Kenyataan bahwa dia gagal mengambil manfaat belajar di bawah bimbingan ulama senior di Arab Saudi menjadikannya justru bercampur dengan pemahaman Qutbis yang baru muncul.14

Pada akhirnya, dia benar-benar melepaskan metodologi “Wahhabi” dan mengeluarkan banyak pengikutnya dari Islam. Lalu, bagaimana bisa dibenarkan mengatakan bahwa Usamah bin Laden adalah seorang “Wahhabi”? Pada kenyataannya, Usamah bin Laden dan pergerakan Al-Qaidahnya bukan Wahhabi akan tetapi Qutbis (pengikut aliran Qutb).

Menegaskan adanya keterkaitan ini, Robert Worth dari The Washington Post berkata, “…akan tetapi jika seorang laki-laki berhak mendapatkan gelar bapak intelektual bagi Usamah bin Laden dan para teroris pengikutnya, kemungkinan dia
adalah seorang penulis dan aktivis Mesir, Sayyid Qutb.”15 Keberadaan Qutbisme sebagai Sebuah Ideologi Dalam sebuah artikel yang berjudul “Terror, Islam and Democracy” Ladan dan Roya Boroumand dengan benar
menyatakan bahwa “sebagian besar kader-kader Islam muda masa kini adalah pewaris langsung dari Sayap Qutbisme dari Ikhwanul Muslimin.”

Mereka menyatakan bahwa, “Ketika pemerintah otoriter rezim Presiden Jamal Abdul Nasir menekan Ikhwanul
Muslimin pada tahun 1954 (pada gilirannya berakhir dengan dihukum gantungnya Qutb pada tahun 1966), banyak yang mengungsi ke Aljazair, Arab Saudi, Irak, Syria dan Moroko. Dari sana, mereka menyebarkan ide-ide Islam revolusioner termasuk alat organisasi dan ideologi yang dipinjam dari sistem totalitarian Eropa. 16

Memperluas keterkaitan antara ideologi revolusioner Eropa dan dogma Qutbisme, Jhon Gray dari The Indipendet membahasnya dalam artikel berjudul “How Marx turned Muslim” (Bagaimana Marx merubah Muslim) bahwa Qutbisme tidak bersumber dari tradisi Islam, bahkan sangat banyak bersumber dari ideologi Barat.

Dia menjelaskan bahwa Sayyid Qutb “menggabungkan banyak unsur yang diambil dari ideologi Eropa17 ke dalam pemikirannya” sehingga dengan demikian, Qutb seharusnya dilihat sebagai jenis persilangan yang eksotis dari pertemuannya dengan intelegensia Islam dengan ideologi
radikal Barat”18

Gray menjelaskan bahwa Qutbisme adalah pergerakan revolusioner moderen dan tidak mewakili Islam ortodoks
yang benar. “Inspirasi bagi pemikiran Qutb tidak seperti Al- Quran, namun filosofi Barat masa kini yang tertanam dalam pemikiran Nietzche, Kierkegard dan Heideggers. Pemikiran Qutb – cetak biru bagi semua teologi politik Islam radikal – adalah respon terhadap pengalaman “Kematian Tuhan”19

Eropa pada abad ke 20 demikian juga terhadap tradisi Islam. Aliran Qutb bukanlah aliran tradisional. Seperti semua idelogi fundamentalis20, tidak salah lagi ia adalah aliran moderen.21 Berbicara mengenai hubungan antara keberadaan Bin Laden dan aliran Qutb ((Qutbisme) yang tidak terbantahkan, Amid Taheri dari Arab News mengatakan: “Pada masanyac Maududi – Qutbisme22 menyediakan wahana ideologi dimana Bin Laden dapat tumbuh.23

Syaikh Rabi bin hadi al-Madkhali, seorang ulama Salafi yang terkenal yang telah menulis beberapa buku yang membantah kesalahan Sayyid Qutb, menyimpulkan yang berikut mengenai aliran Qutb: “Qutbis adalah pengikut Sayyid Qutb…. segala sesuatu yang anda lihat dari kesengsaraan, pertumpahan darah, dan permasalahan-permasalan di dunia Islam sekarang ini muncul dari metologi (laki-laki ini).24

PRINSIP DASAR ALIRAN QUTB

Lalu bagaimana Usamah bin Laden berbelok ke jalannya saat ini, jika bukan Salafiyyah yang menghadapkan dirinya ke arah yang dipilih bagi dirinya sendiri? Pada kenyataannya, Usamah bin Laden memiliki banyak kesamaan karakteristik dengan gurunya yang sebenarnya, seorang penulis sastra Mesir
bernama Sayyid Qutb. Seperti Usamah bin Laden, Qutb bukanlah seorang ulama25 namun seorang laki-laki Mesir biasa yang berubah menjadi seorang yang agamis selama masa-masa sulit di Mesir.

Sayyid Qutb (1906-1966) lahir di sebuah kota kecil di bagian atas Mesir dan pindah ke Kairo sebagai seorang remaja dalam rangka melanjutkan pendidikannya. Qutb mulai menulis di akhir 1920an sebagai seorang pujangga dan kritikus sastra, menulis mengenai persoalan-persoalan sosial dan politik dari sudut pandang sekuler. Pada tahun 1948, Qutb mengubah metode penulisannya dan mulai menulis lebih pada sudut pandang Islam, dengan keterbatasan ilmu keislaman yang dia miliki. “Keadilan Sosial”, buku Islam pertamanya, diterbitkan pada tahun 1949.

Sekembalinya dari belajar di Amerika Serikat selama dua tahun yang berakhir pada tahun 1950, Qutb bergabung dengan Ikhwanul Muslimin26, menjadi salah seorang pembicara utama mereka. Setelah pergerakan Ikhwanul Muslimin secara terang-terangan menentang pemerintahan Jamal Abdul Nasir, Qutb akhrinya menghasibkan sisa hidupnya di dalam penjara setelah tahun 1954, kecuali pada periode singkat pada tahun 1964–65. Setelah dibebaskan
sementara, Qutb ditahan kembali, diadili dan dieksekusi pada tahun 1966.

Kurangnya ilmu Qutb mengenai Islam ditambah dengan pemenjaraan dirinya membawanya merubah pemahamannya terhadap Islam sesuai dengan keadaan yang dihadapinya. Sebagai akibatnya, tulisan-tulisannya semakin radikal seiring berlalunya waktu Pada akhirnya, idelogi revolusioner Takfirnya dan sikap perlawanan terhadap pemerintah tertanam dalam pemikiran dan hati generasi muda baru yang mencari sesuatu yang lebih besar dari jalan yang gagal dari (pergerakan) Ikhwanul Muslimin. Hari ini, Qutb dipandang sebagai pemimpin ideologi ini bagi semua kelompok
pemberontakan.

Model baru pemahaman Islamnya ini jelas dalam usahanya dalam membuat tafsir Al-Qur’an yang disebut Fi Dzilalil Qur’an (Di bawah naungan Al-Qur’an), Qutb tidak tertarik untuk mengikuti pendekatan yang telah baku dalam menjelaskan Al-Qur’an, yang pertama-tama ditafsirkan dengan Al-Qur’an itu sendiri bagi ayat-ayat lain yang menjelaskan artinya, kemudian dengan Sunnah Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam menyangkut makna ayat-ayat tertentu, atau jika tidak terdapat dari keduanya, maka merujuk pada penjelasan sahabat-sahabat beliau . Oleh karena itu, ia tidak dapat dikatakan sebagai tafsir dalam sudut pandang konfensional.

Merujuk pada penjelasan para sahabat merupakan hal yang disyariatkan di dalam Islam, karena mereka menyaksikan diturunkannya Al-Qur’an dan diajarkan pengertian dan pengamalannya oleh dia yang kepadanya Al-Qur’an diturunkan (Nabi n). Sebagai konsekuensinya, mereka ditugaskan untuk menyampaikan nash Al-Qur’an dan hadits yang kita baca hari ini dan juga dituntut untuk bertanggung jawab terhadap pemeliharaan penjelasan nash tersebut
beserta penyebab dan kapan dan dimana nash tersebut diturunkan. Bukannya merujuk kepada sumber-sumber yang penting ini, Qutb menggunakan pendapat pribadinya untuk menjelaskan Al-Qur’an – disamping kedua sumber tersebut. Sebagai akibatnya, tafsir ini mengandung sejumlah kesalahan yang telah dijelaskan oleh para ulama Salafi.

Karena ketidaktahuannya akan sistem ortodoks27 agama Islam, Qutb muncul dengan pernyataan yang bercampur
aduk dari berbagai aliran Islam yang telah muncul sejak tahun-tahun awal peradaban Islam. Berada jauh dari aqidah “Wahhabi”, Qutb dipengaruhi oleh madzhab Mu’tazilah28/ Sufi yang berlaku di wilayah tersebut di Timur Tengah. Sistem keimanan ini sangat bertentangan dengan aqidah “Wahhabi”.

Karena dia meninggalkan manhaj kembali kepada pemahaman Nabi n dan para sahabatnya dalam pendekatannya terhadap Al-Qur’an dan As-Sunnah, Qutb menjadi tersibukkan pada kesalahan dan dosa-dosa orangorang yang berada di sekitarnya, khususnya mereka yang (berada) di kalangan pemerintahan.

Adapun kelompok Islam seperti Ikhwanul Muslimin, berusaha untuk merebut kekuasan dari penguasa Mesir, pemerintah meresponnya dengan mengawasi mereka dengans sangat ketat, kadang-kadang dengan cara yang brutal. Keadaan ini membuat Qutb membetuk pandangan tertentu terhadap dunia, dan ketiadaan dasar yang memadai dalam manhaj29 Salaf (Nabi dan para sahabatnya) menyebabkan dirinya jatuh ke dalam orientasi yang berbahaya, mengeluarkan manusia dari ikatan Islam dengan sebab dosa –dosa mereka. Ketidaktahuan Sayyid Qutb terhadap prinsip dasar Islam menyebabkannya mengeluarkan pernyataan berbahaya yang berlebihan: “Hari ini kita berada di masa jahiliyah.30

Sebagaimana yang terjadi di masa awal terbitnya Islam, bahkan lebih buruk. Segala sesuatu di sekitar kita adalah jahiliyah.”31

Syaikh Shalih Al-Fauzan, salah seorang ulama besar di masa kini, ditanya, apakah diperbolehkan menggunakan istilah jahiliyah secara tidak terbatas terhadap masyarakat Islam sekarang ini, beliau menjawab: “Jahiliyah secara umum telah terhapus dengan diutusnya Rasulullah n. Maka tidak diperbolehkan menerapkannya terhadap masyarakat Islam secara umum. Adapun menerapkan sesuatu dari perkara ini atas perorangan atau atas beberapa kelompok dan masyarakat, maka hal ini diizinkan dan diperbolehkan.

Sungguh Nabi berkata kepada salah seorang sahabatnya: “Sesungguhnya engkau seorang laki-laki yang memiliki sifat jahiliyah di dalam dirinya.”32

Dan beliau bersabda: “Ummatku tidak akan meninggalkan empat perkara jahiliyah: Bangga dengan keturunan yang bangsawan, mencela garis keturunan, mencari hujan pada bintang-bintang, dan meratapi orang mati.”33

Di tempat lain Qutb berkata, “Zaman ini telah kembali ke bentuk asalnya pada hari pertama agama ini turun kepada manusia dengan kalimat ‘laa ilaaha illa Allah’34 Karena manusia telah murtad dan beralih menyebah hamba…”35 Keyakinan ekstrim ini mendorong Qutb menyimpulkan bahwa, “Umat Islam telah hilang dari keberadaannya dan tidak disadari pada kurun waktu yang sangat lama.”36 Bahkan Qutb sampai begitu ekstrim dengan menolak shalat Jum’at berjama’ah, dengan meyakini bahwa kewajiban tersebut tidak lagi mengikat karena tidak ada Khalifah yang memimpin negeri kaum Muslimin. Dalam bukunya: “Sejarah Rahasia Ikhwanul Muslimin;, Ali Ashmawi berkata: “Dan waktu berjama’ah (kewajiban shalat Jum’at berjama’ah) tiba dan aku berkata kepadanya.. ‘Mari kita pergi untuk shalat’, dan merupakan kejutan ketika akhirnya aku tahu – dan itulah
pertama kalinya aku mengetahui – bahwa dia tidak biasa shalat berjama’ah.”37

Bahkan pemimpin Ikhwanul Muslimin, seperti Dr. Yusuf Al- Qardawi, bersaksi akan bahaya Qutb dan para pengikutnya:

“Dan pada waktu itulah buku dari syahid38, Sayyid Qutb muncul, buku yang mewakili pemikiran terakhirnya (dalam ideologi, sebelum kematiannya). Orang-orang yang
membenarkan takfir terhadap (semua) masyarakat… pemutusan dari semua penisbatan sentimental terhadap masyarakat, memutuskan hubungan dengan yang lain dan pengumuman jihad destruktif terhadap seluruh manusia. Dan menunjukkan penghinaan terhadap para da’i yang mengajak
kepada toleransi, kelembutan, menuduh mereka idiot, dan cepat mengalah. Dia membuat kesimpulan ini dengan sangat jelas dalam tafsir ‘Fi Dzilalil Qur’an’ pada edisi kedua dan dalam Ma’alim fi Tariq’, dan sebagian besar darinya diambil dari ‘Dzilal’ dan ‘Al-Islam wa Muskhilatil Hadaanah’ dan lainlain.

Ulama kibar Salafi dengan jelas telah mengingatkan kaum Muslimin akan kesahalan-kesalahan ini, yang tidak terbatas pada isu takfir. Ketika ditanya mengenai pendapatnya
mengenai benar tidaknya bagi orang-orang menyimpan tafsir Al-Qur’an karya Qutb di rumah-rumah mereka, Syaikh Muqbil bin Hadi Al-Wadi’i (wafat 1421H), ulama besar Yaman, menjawab: “Adapun buku Al-Dzilal dan buku-buku Sayyid Qutb v, maka kami nasihatkan agar tidak dibaca sama sekali, karena sebagian orang dari Jama’atut Takfir40 dan
sebagian pemuda yang dibentuk oleh Jama’atut Takfir adalah produk langsung dari tulisan Sayyid Qutb v. Dan Sayyid Qutb hanya dianggap sebagai seorang penulis, dia tidak dipandang sebagai seorang mufassir (ahli afsir Al-Qur’an).41

Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin (wafat 1412H), salah satu ulama besar abad ini, ditanya mengenai bukubuku Sayyid Qutb, khususnya Fi Dzilalil Qur’an dan Ma’alim
fit Tariq, dimana beliau menjawab:

“Perkataanku, semoga Allah merahmatimu, adalah barangsiapa yang memberi (nasihat) ikhlas semata-mata karena Allah, Rasul-Nya dan saudara-saudara Muslim, hendaknya dia mendorong manusia untuk membaca bukubuku orang-orang yang telah mendahului kita dari kitab-kitab tafsir dan selainnya. Buku-buku ini mengandung lebih banyak berkah, lebih bermanfaat dan jauh lebih baik daripada buku-buku yang datang kemudian. Adapun mengenai tafsir Sayyid Qutb v, ia mengandung malapetaka yang besar, namun kita berharap semoga Allah memaafkannya. Buku-buku tersebut mengandung bencana besar.42

Jelaslah, para ulama kibar Salafi telah menjelaskan kesalahan besar yang begitu banyak yang terdapat dalam buku-buku Sayyid Qutb. Mereka telah berbicara mengenai topik yang disebutkan di dalam buku, dan mereka telah berbicara mengenai bagian lain dari aqidah dimana Qutb melakukan kesalahan, yang tidak disebutkan di dalam buku ini. Setiap orang yang masih bertekad untuk mengidolakan pribadi tertentu diantara para ‘pemikir’ Islam, seperti Sayyid Qutb, Abu A’laa Maududi43 dan Hasan Al-Banna, dan menolak untuk menyangkal penyimpangan kelompok dan pergerakan kontemporer44 telah berpaling dari manhaj Salaf, meskipun mereka berusaha untuk menisbatkan diri mereka kepada manhaj tersebut. Sebagaimana yang dikatakan dalam sebuah syair Arab:

Semua orang mengaku mencintai Laila
Namun Laila tidak mengenal seorang pun diantaranya

Bersambung InsyaAllah.

1 Salafiyyah (Salafiyyah) berkenaaan tentang ittiba’ (mengikuti) Nabi Muhammad s, para sahabat beliau dan dua generasi yang mengikutinya yang dikenal dengan Tabi’in (pengikut para Sahabat) dan Atba’ut Tabi’in (pengikut para Tabi’in). Dalil mengenai keutaaman ketiga generasi ini didapatkan dari hadits shahih Nabi “Sebaik-baik manusia adalah generasiku, kemudian setelahnya,
kemudian setelahnya.” (HR Bukhari, 2652).

Istilah Salafi dinisbatkan kepada seorang Muslim yang mengikuti jalan mereka dalam perkara agama.

2 Perkataan, perbuatan atau persetujuan Nabi s.

3 Shallallahu alaihii wasallam (shalawat dan salam atas Nabi Muhammad)

4 Kelompok yang mengeluarkan manusia dari Islam berdasarkan prinsip bid’ah dan memberontak terhadap penguasa, menimbulkan banyak kerusakan dalam negara.

5 Penaggalan Islam dimulai sejak hijrahnya Nabi n dari Makkah ke Madinah, yakni sama dengan tahun 622 M.

6 Beriman bahwa Allah adalah Esa, dan tidak mempersekutukan Allah dengan sesuatu pun dalam segala bentuk ibadah.

7As-Sunnah terdiri dari perkataan, perbuatan dan takrir (persetujuan) Nabi n. Nabi n. bersabda: “Barangsiapa yang tidak menyukai sunnahku maka dia bukan dari golonganku.” (HR Bukhari, 5063)

8 Sejak 11 September, banyak orang mendengarkan nama Allah untuk pertama kalinya. Orang-orang Eropa bisa mendengar kata ‘God” (Tuhan) dalam bahasa Inggris, Got di Afrika, Gott di Jerman dan Gudd dalam bahasa Skandinavia. Kata Allah seolah merupakan sesuatu yang asiang bagi mereka, oleh karena itu, mereka biasa menepis seluruh konsep ketuhanan Islam sebagai Tuhan yang asing dari agama yang asing.

Bahkan pegawai pemerintah yang terlibat dalam bidang pendidikan seolah tidak mengetahui realitas nama Allah. Sebagai contoh, pada tanggal 2 November 1997, CAIR melaporkan bahwa Dr. Henry Jordan, petugas South Carolina Board of Edcation mengatakan bahwa Islam adalah ‘pemujaan’ yang menyebah ‘Lucifer’ dan karenanya dia menukil sebuah perkataan: “Bunuhlah orang-orang Muslim.” Setelah memohon maaf atas ucapannya, dia mengatakan yang berikut dalam sebuah surat kepada Muslim di South Carolina, tanggal 2 September 1997: “Jika anda tidak cukup pintar untuk membaca melalui berita dan melihat apa yang sesungguhnya berlangsung dalam pemberitaan itu, maka tidak heran jika anda
beranggapan bahwa keselamatan dapat dicapai dengan amalan yang baik dan beriman kepada Allah. Saya menasihatkan anda..bertanyalah kepada Tuhan Injil, Jehovah(, bukan Allah, dan Tuhan, dan Anak, Isa, untuk menyingkapkan tirai dari mata dan hati anda dan menampakkan kebenaran kepadamu sebelum terlambat.”

Dr. Hendy Jordan akan melakukannya dengan baik dengan mengetahui bahwa ‘Tuhan dalam Injil’ sesungguhnya adalah Allah dan bahwa kata ‘God’ dan Jehovah tidak ditemukan di mana pun dalam nash aslinya (Jehovah adalah versi perubahan dari empat
huruf Y.H.W.H yang ditemukan dalam kitab Perjanjian Lama. Hurufhuruf ini tidak ditemukan di mana pun dalam Perjanjian Baru).

Nama Tuhan yang sebenarnya dapat ditemukan dalam nash berbahasa Semitic, seperti Ibrani dan Arab. Dalam bahasa Ibrani, Tuhan seringkali ditransliterasikan dengan El, Elah, Eloh atau Eloah.

Ketika digunakan dalam bentuk jamak untuk menunjukkan kemuliaan, seperti ‘Kami’ dan bukannya ‘Aku’ , maka ditulis Elohim. Tuhan dalam Bahasa Arab ditransliterasikan dengan Ilah. Dalam catatan kakinya untuk surat Genesis 1-1 untuk Edisi terbaru dan perbaikan dari the English Bible, Rev, C.I. Scotfield D.D memilih transliterasi Eloh menjadi Alah.

Setelah diterjemahkan dari Bahasa Yunanai ke Inggris, kitab Perjanjian Baru masih mengandung unsur dari akar Semitik. Mathew 27:46 menyebut Tuhan sebagai Eli, dan riwayat kembarnya, Mark 15:34 menyebut Tuhan sebagai Eloi. Kaum Muslim meyakini bahwa kata Allah adalah nama Tuhan yang sebanarnya yang berarti “(Satu-satunya) Tuhan (yang berhak disembah)” dalam bentuk ma’rifah (definite). Secara linguistik, kata tersebut tidak dapat dimodifikaasi dengan cara yang sama seperti gods (tuhan-tuhan), godess (tuhan-tuhan wanita / dewi-dewi), atau tin god (seringkali adalah orang yang angkuh dan dictator yang meminta dan menerima penghormatan lebih dari yang pantas diterimanya),

9 Disahihkan oleh Syaikh Albani dalam al-Misykat (no. 248)

10 Kata yang digunakan disini adalah taqwa. Konsep taqwa dalam islam berakar dalam keseimbangan antara mencintai Allah, yang memberikan harapan kepada orang-orang beriman akan rahmat Allah yang maha luas, dan takut kepada-Nya, yang menahan orang-orang mukmin (agar tidak) jatuh ke dalam dosa dan pelanggaran.

Taqwa melindungi orang-orang Mukmin dari murka Allah. Allah Ta’ala berfiman:

“Maka segeralah kembali kepada (mentaati) Allah.” (QS Adz- Dzariyat [51] : 50)

Allah memerintahkan orang-orang Mukimin untuk kembali dari segala sesuatu yang dibenci Allah, yang tersembunyi dan yang tampak kepada apa-apa yang Allah cintai. Dia juga memerintahkan kita untuk kembali dari kelalaian akan tujuan keberadaaan kita, kepada akal sehat mengenai diri kita, Rabb kita, agama-Nya yang telah dipilihkan-Nya untuk kita, dan urusan dunia kita. Kita harus kembali dari kekufuran kepada iman, dari kealpaan kepada mengingat kebesaran Sang Pencipta.

Biasanya, seseorang berlari dari sesuatu yang sangat menakutkannya. Ini adalah bentuk negatif dari ketakutan yang membawa kepada kehancuran. Bertentangan dengan hal itu, ketakutan yang dimiliki orang-orang Mukmin kepada Allah
membuatnya melarikan diri dari semua kesia-siaan dan hal-hal yang tidak berguna (menuju) kepada-Nya. Karenanya, kita diperintahkan untuk kembali kepada Allah. Dalam Islam, takut kepada Allah membawa hamba lebih dekat kepada-Nya 11 Pada tanngal 15 Oktober, The National Review menyebarkan artikel yang ditulis oleh Stephan Schwartz yang mengatakan bahwa:

“pernyataan (adanya) nilai-nilai moral antaraliran Wahahbi dan al- Qaeda adalah bernilai sama seperti klaim adanya nilai-nilai moral antara partai Nazi dan SS, itu saja.” (Sephan Schwartz, Seeking Moderation, Giving Wahhabis too much credit, The National Review, October 25, 2001. Catatan: The National Review adalah penerbit yang sama, yang pada tanggal 3 Maret 2002,
menyarankan kemungkinan penyerangan Makkah, kota suci Islam, dengan senjata nuklir.

12 Justin Raimondo, The War Against Saudi: What’s behind the Washington’s split with Riyadh? Behind the Headlines, January 23, 2002.

13 Alirann Sufi tidak dikenal di masa Nabi s dan para sahabatnya, dan tidak juga demikian terkenal pada tiga generasi. Ia pertama kali muncul di Basrah Iraq, di mana sebagian orang ghuluw (berlebihlebihan) dalam ibadah dan menghindari kehidupan dunia, sesuatu yang telah diperingatkan dalam Al-Qur’an:

“Dan mereka mengada-adakan rahbaniyyah padahal kami tidak mewajibkannya kepada mereka.” (QS Al-Haadid [57] : 27)

Sufi merupakan madzhab yang berpendapat bahwa ilmu dan kesadaran muncul di dalam jiwa dengan latihan spiritual. Dalam Islam ortodoks, seseorang dapat meraih ilmu dan kesadaran melalui perbuatan amal ibadah yang terdapat dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah.

Sufi meyakini bahwa Syaikh mereka juga merupakan sumber syariat dalam beribadah, karena para syaikh tersebut akan memerintahkan mereka untuk melaksanakan amal ibadah yang tidak memiliki dasar baik dari Al-Qur’an maupun Sunnah. Yang paling ghuluw di antara mereka seringkali mengatakan bahwa Allah menitis ke dalam mahluk-Nya (yakni di hati manusia, organ dalam, dan lain-lain). Akibatnya mereka menisbatkan kepada syaikh Sufi mereka sifat-sifat dan kekuatan yang hanya milik Allah, seperti ilmu tentang perkara ghaib.

Mereka sering menyatakan bahwa nashnash Al-Qur’an dan As-Sunnah memiliki hakikat dan makrifat. Mereka beranggapan bahwa makna hakikat diketahui oleh orang Menyingkap orang yang melaksanakan ajaran Islam ortodoks, sedangkan makrifat dari Al-Qur’an dan As-Sunnah hanya diketahui oleh Syaikh mereka.

Para Syaikh ini sering menyatakan bahwa mereka telah mencapai makrifat Islam, mereka tidak perlu shalat atau puasa, sesuatu yang bahkan tidak ditinggalkan oleh para Nabi

14 Qutbist adalah orang-orang yang menganut ideologi Sayyid Qutb, penyokong pemikiran revolusiioner moderen. Ideologi ini diistilahkan Qutbiyyah (Qutbisme)

15 Robert Worth, The deep intellectual of Islam terror, The New York Times, 13 Oktober 2001.

16 Ladan dan Roya Boroumand, Terror, Islam and Democracy, The Journal of Democracy.

Catatan: Karena Boroumand dengan baik menghubungkan Qutbisme dan totalitarianisme Eropa, dapat kita katakan bahwa tidak benar bagi orang-orang ini dianggap sebagai Islamist. Bahkan akan lebih akurat untuk menganggap mereka sebagai aktivis
Muslim. Meskipun mereka Muslim, ideologi revolusioner mereka tidak dapat dinisbatkan kepada Islam.

17 Robert Worth dari The New York Times menyebutkan yang berikut mengenai pengaruh Eropa terhadap pengikut aliran Qutb “Sebagaiamana yang ditulis Fathi Yakan, salah seorang murid Qutb, pada tahun 1960an: “Dasar kerja bagi Revolusi Prancis diletakkan oleh Rosseau, Voltaire dan Montesquieu; Revolusi Komunis merealisasikan rencana yang diatur oleh Marx, Engels dan Lenin…

Hal yang sama juga mengandung kebenaran bagi kita.” (Robert Wort, The Deep Intellectual Root of Islamic Terror, The New York Times, 13 Oktober 2001).

18 Pemikir revolusioner seperti Abu A’la Maududi, Sayyid Qutb, Hasan Turabi dari Sudan dan ahli filsafat Iran, Ali Shariati, ideologi mereka dipengaruhi oleh Barat setelah tinggal di sana. Meskipun mereka menolak gaya hidup Barat dan membatahnya, mereka juga sangat dipengaruhi olehnya (dalam) memformulasikan reformasi ideologi radikal. Mereka tidak mengetahui islam dan aqidahnya, dan karenanya membuat pemikiran dan analisa politik mereka sebagai dasar doktrin mereka, dan kemudian berusaha
mengislamisasikannya.

19 Konsep menisbatkan kematikan kepada Sang Pencipta, baik diekspresikan secara harafiah atau secara simbolis adalah sangat menggelikan. Allah berfirman:

“Dan bertawakkallah kepada Allah yang hidup (kekal) Yang tidak mati, dan bertasbihlah dengan memuji-Nya..” (QS al-Furqan [25] : 58)

20 Akan lebih akurat bagi Gray bila mengatakan, “Seperti semua ideology esktrimis, tidak salah lagi ini adalah (pemikiran) modern,” dan bukannya menggunakan istilah “fundamentalis”.

21 John Gray, How Marx turn Muslim, The Telegraph, 27 Juli 2002.

22 Taheri mengacu pada hubungan antara Abu A’la Maududi, pemikir Muslim Asia Selatan, dan Sayyid Qutb yang sangat dipengarhui oleh tulisan-tulisan Maududi. Mengkonfirmasi hal ini, The Telegraph menyatakan yang berikut mengenai Qutb: “Penulis dan pemikir Mesir. Mengambil pemikiran Abu A’la Maududi (1903- 1079) bahwa banyak dari dunia Muslim telah kembai ke jahiliyah.” (A-Z of Islam, The Telegraph, 15 November 2001)

23 Amir Taher, Bin Laden no longer exist: Here is Why. The Arab News, 29 Agustrus 2002.

24 Syaikh Rabi bin Hadi pada Imam Albani dan Irja’ (Sumber: 11 Januari 2002, Tele-link dari UK. http://www.salafipublications.com (Article ID: MSC060014))

25 Syaikh Muhammad Nashiruddin al-Albani (wafat 1421H) ulama hadits terkemuka yang berasal dari Albania yang tinggal di Yordania, mengatakan bahwa, “Sayyid Qutb tidak memiliki ilmu perkara fundamental dan cabang Islam.” Diambil dari surat dengan tulisan tangan dalam Bana’ah Ulama’il Ummah min Tazkiyah Ahlil Bid’ah oleh Imam Abdullah as-Sinani.

26 Ikhwanul Muslimin didirikan di Mesir pada tahun 1928 oleh Hasan al-Banna (1906-1949), seorang pemikir pembaharu Sufi dan aktivis. Setelah pendudukan militer Inggris terhadap Mesir, kepekaan al-Banna terhadap penjajahan barat semakin memanas karena eksploitasi dan dominasi budaya negerinya. Karenanya al- Banna memandang tepat untuk membentuk sebuah kelompok Islam yang akan menentang kecenderungan sekularis dan kerusakan Negara dan masyarakat yang terjadi dengan kesadaran kembali kepada nilai-nilai dan cara hidup Islam. Dia memperkenalkan organisasi ini kepada masyarakat Mesir dengan bergantung pada jaringan social yang telah ada. Kelompok ini secara konsisten menarik anggota baru dan mendirikan berbagai bisnis, klinik dan sekolah. Sebagai tambahan akan beragamnya konstituen, al-Banna merekrut pengikut dari sejumlah besar
berbagai kelompok masyarakat Mesir, dengan membahas isu seperti kolonialisme, kesehatan masyarakat, kebijakan pendidikan, manajemen sumberdaya alam, Marxime, kesenjangan sosial, nasionalisme Arab, lemahnya dunia Islam dan pertumbuhan konflik Palestina.

Al-Banna tidak memulai atau mengakhiri dakwahnya dengan Tauhid, sebagaimana jalan para Rasul. Ikhwanul Muslimin secara konsisten mengabaikan aspek dasar mendakwahi para pengikutnya kepada Tauhid dan melarang mereka dari kesyirikan, karena ini adalah perkara yang membutuhkan waktu dan usaha untuk berubah; perkara yang tidak mudah diterima oleh manusia. Ikhwan lebih mementingkan mengumpulkan sebanyak mungkin kelompokMenyingkap kelompok manusia bersama-sama daripada mengajak manusia kepada Sunnah.

Akibatnya, mereka mengakomodasi setiap jenis bid’ah dalam agama dalam barisan mereka, memberikan mereka panggung untuk secara terbuka berdakwah kepada beragam keyakinan
mereka yang berbeda. Di antara Ikhwan dapat dijumpai pengikut Sufi, Jahmiyah (mereka yang menolak bahwa Allah memiliki Sifatsifat, Sifat-sifat yang disebutkan sendiri oleh Allah di dalam Al- Qur’an), Syi’ah, Mu’tazilah (madzhab filsafat yang juga menolak sifat-sifat Allah), Khawarij (orang-orang yang mengeluarkan manusia dari Islam karena melakukan dosa besar), Aqlaniyyun (modernist), dan banyak lainnya. Metodologi politik muwazanah (dengan kaidah: tolong menolong dalam perkawa yang disepakati dan saling toleransi dalam perkara yang diperselisihkan-pent) ini berakibat kejelasan Islam digantikan dengan sesuatu yang membingungkan dan kabur. Allah telah menjelaskan keadaan yang demikian, ketika Dia berfirman:

“Kamu kira mereka itu bersatu, sedang hati mereka berpecah belah. Yang demikian itu karena sesungguhnya mereka adalah kaum yang tidak mengerti.” (QS Al-hasyr [59] : 14)

Dengan meluasnya kelompok tersebut selama tahun 1930an, dengan cepat bertransformasi ke dalam sebuah kesatuan yang secara langsung aktif dalam kancah politik Mesir. Mengkonfrontasi penguasa secara langsung, organisasi tersebut bergerak sangat diam-diam. Kebid’ahan agama dalam kerahasiaan ini sekarang dapat pula ditemukan pada kelompok lain yang lebih berbahaya
seperti al-Qaidah dan Jama’atul Jihad. Setelah serangkain maju mundur pembunuhan antara anggota kelompok dan pemerintah, Perdana Menteri Nuqrashi Pasha membubarkan al-Ikhwan pada bulan Desember 1948. Meskipun dia berusaha melakukan pendekatan yang lebih damai dalam dakwahnya sejak tahun 1970an, al-Ikhwan mempersiapkan wadah bagi kelompok aliran Qutb lain yang akan mengambil alih apa yang ditinggalkan al- Ikhwan.

Di antara prinsip fundamental al-Ikhwan dan kelompok-kelompok ini bahwa mereka memandang negeri ini, harta milik dan darah kaum Muslimin akan menjadi milik mereka, seolah-olah bangsabangsa ini di mana mereka memimpin adalah tempat percobaan. Maka dari itu mereka mengorbankan manusia dari generasi ke
generasi untuk perolehan kekuasaan. Mereka meyakini bahwa mereka dapat berusaha untuk mencari cara-cara yang berbeda untuk menegakkan agama Islam, seolah nash-nash Islam tidak memuat garis besar dan metode yang telah ditetapkan dengan sempurna bagaimana melakukannya. Dengan melanggar metodologi para Nabi dalam berdakwah kepada Allah secara langsung, mereka tidak memiliki pengalaman apapun yang menunjukkan kesuksesan (mereka).

27 Ortodoks adalah berpegang teguh pada peraturan agama (Kamus Bahasa Indonesia, Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasiional, Jakarta, 2008). Tidak jarang kata ortodoks ini dugunakan dengan konotasi negative untuk sesuatu yang bersifat keras, kolot dan kaku. Namun dalam perkara ini, tentu saja yang dimaksud adalah berpegang teguh terhadap ajaran agama Islam yang murni yang telah Allah sempurnakan sebagaimana yang terdapat dalam firmannya: “Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu ni’mat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu jadi agama bagimu…” (QS Al-Ma’idah [5] : 3), maka apa-apa yang bukan bagian dari agama pada hari itu (ketika ayat tersebut diturunkan), maka tidak akan menjadi bagian pada hari ini. –pent.

28 Mu’tazilah adalah pengikut Wasil bin Ataa, yang menarik diri (dari perbuatannya dikenal isitlah Mu’tazilah) dari kelas al-Hasan al- Bashri, salah seorang ulama terkenal yang belajar langsung dari para sahabat Nabi s. Di antara hal lainnya, mereka menolak Sifatsifat Allah yang disebutkan dalam al-Qur’an dan as-Sunnah.

29 Manhaj Salafi (Salaf) adalah cara, jalan, metode atau metodologi yang diikuti oleh generasi awal Muslim dalam berbagai perkara agama, yang berhubungan dengan ibadah dan amaliah. Salaf memiliki metodologi dalam beriman kepada Allah, Asma dan Sifat- Nya, metodologi dalam dakwah kepada Allah, metodologi dalam fiqih, metodologi dalam ibadah dan seterusnya, semuanya berasarkan al-Qur’an dan Sunnah (menurut pemahaman para Sahabat). Dalam penggunaan kontemporer, manhaj biasanya digunakan untuk mengacu pada jalan yang diambil dalam memperbaiki keimanan dan akhlak perbuatan kaum Muslimin dan masyarakatnya dan berbagai prinsip yang berada di bawahnya yang berhubungan dengan tugas-tugas ini.

30 Istilah ini mewakili zaman di mana risalah asli para Nabi telah berubah antara masa Isa (Isa) _ dan Muhammad s. Ia sinonim dengan konsep kekafiran, kesyirikan, keterbelakangan dan kebodohan.

31 Mu’alim fit Tariq (milestones), hal 21, edisi ke 17, 1991. (Salafi Publications)

32 Ini terjadi ketika dua orang Sahabat bertikai dan Nabi s mencela salah seorang dari mereka kaena caranya berbicara kepada yang lainnya: “Wahai Abu Dzar, apakah engkau memaki ibunya? Sesungguhnya engkau adalah seorang laki-laki yang memiliki sifat jahiliyah di dalam dirinya.” (HR Bukhari, no. 30. Catatan: perbedaan antara “Sesungguhnya engkau adalah seorang laki-laki yang memiliki sifat jahiliyah di dalam dirinya” dengan misalnya “Engkau seorang jahiliyah; segala sesuatu tentang dirimu adalah jahiliyah.”

33 HR Muslim (3/45). Jawaban Syaikh Shalih al-Fauzan terdapat dalam buku al-Ajwibatul Mufidah an As’ilatil Manhajil Jadidah (hal. 148,149( oleh Jamal bin Farihan al-Haritsi (Terjemahan T.R.O.I.D)

34 Laa ilaaha illa Allah adalah persaksian akan keimanan yang berarti “Tidak ada yang berhak disembah kecuali Allah.”

35 Sayyid Qutb, Fi Dzilalil Qur’an (2/1057). (Terjemahan Salafi Publications)

36 Sayyid Qutb, Mu’alim fit Tariq, hal. 8, edisi ke 17, 1991. (Terjemahan Salafi Publications)

37 Silahkan merujuk pada Tarikhus Sirri li Jama’atil Ikhwanil Muslimin (hal. 112). (Terjemahan Salafi Publications)

38 Al-Qardawi memgatakan Qutb sebagai seorang syahid, meskipun harus dicatat bahwa tidak diperbolehkan untuk menentukan orang tertentu adalah syahid kecuali ada nash yang membuktikannya, karena itu merupakan perkara ghaib yang hanya Allah saja yang mengetahuinya.

39 Yusuf al-Qardawi, ‘Priority of the Islamic Movement’ (hal. 10) (Terjemahan Salafi Publications).

40 Sebuah kelompok yang melakukan kebid’ahan dalam menerapkan takfir tanpa batasan.

41 Abu Abdur-Rahman Muqbil bin Hadi al-Wadi’i, Fada’ih wan Nasa’ih, (hak. 4367). (Terjemahan T.R.O.I.D)

42 Diambil dari kaset Aqwall Ulama fi Ibtal Qawa’id wa Maqalat Ar’ur (Terjemahan Salafi Publications).

43 Maududi adalah seorang pemikir revolusioner Pakistan yang membentuk partai Islam disebut Jama’ati Islami.

44 Nabi Muhammad s ditanya oleh Hudzaifah bin al-Yaman z, salah seorang sahabat beliau, mengenai apa yang akan terjadi terhadap kaum Muslimin setelah kematian beliau s. Nabi s mengisyaratkan bahwa akan datang masa di mana kaum Muslimin akan terpecah belah tanpa seorang pemimpin untuk menunjuki.

1 Comment (+add yours?)

  1. wk wk wk
    Aug 07, 2012 @ 14:29:38

    wahabi ya wahabi
    suka merusak tatanan

    Reply

Leave a comment